PEMBERONTAKAN DI/TII DI JAWA BARAT

Donal Manalu/SNI V/A
Jika memperhatikan dengan seksama, Persoalan Darul Islam (DI) pada hakekatnya adalah persolan politik militer, di timbulkan oleh golangan extrimis Islam yang menginginkan supaya islam di jadikan dasar negara. Benih-benihnya sudah terlihat dalam Komite Pembela Kebenaran Partai Islam Indonesia (PSII). Komite ini lahir sebagai akibat terjadinya perpecahan dalam tubuh PSII pada zaman Hindia-Belanda antara golongan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dengan tokoh-tokoh lainnya. Dalam rapat yang di adakan di
Malangbong Jawa Barat pada tanggal 24 maret 1942. Telah tumbuh benih-benih dasar yang akan menjadi dasar lahirnya DI di kemudian hari. Pusatnya berada di Jawa Barat, akan tetapi pengaruhnya sampai ke Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan. [1]
Pada awal-awal kemerdekaan indonesia banyak pendapat dari masyarakat masalah dasar negara RI. Para tokoh menginginkan agar islam dijadikan dasar negara, namun yang lainnya menginginkan indonesia menjadi negara sekuler. Meski demikian sebagian para tokoh islam tidak menerima hal tersebut. Mereka membentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang kita kenal dengan DI/TII.Pemberontakan yang bermotif agama islam ini muncul di daerah Jawa Barat di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartusuwiryo. Beliau merupakan tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930-an. Resminya, pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islma Indonesia (NII), yang kemudian lebih dikenal dengan Darul Islam (DI), di Desa Cisampang, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya. Tetapi perlu diketahui, gerakannya sudah dimulai jauh sebelumnya, bahkan gagasan untuk mendirikan negara islam sudah muncul dalam pikiran Kartosuwiryo pada saat jepang berkuasa di indonesia. Sebagai langkah awal, di garut didirikan Institut (pesantren) suffah untuk merekrut para pengikutanya. Kepada mereka di tananamkan fanatisme yang dalam dan loyalitas tinggi kepada pemimpin, dalam hal ini Kartosuwiryo. Pesantren ini juga berfungsi sebagai tempat pelatihan militer dengan memberikan penekanan pada militansi islam. [2]
Kartosuwiryo adalah pendiri DI/TII, ia merupakan anak pejabat perdagangan candu yang lahir di Cepu. Ia dibesarkan dan didik menurut cara liberal barat. Di bawah pengasuhan pamannya, penulis Mas Marco Kartodikromo, Kartosuwiryo berkenalan dengan berbagai bentuk gerakan nasionalis, termasuk Marxisme. Namun kemudian, Kartosuwiryo lebih tertarik dengan gerakan keagamaan dan memiliki hubungan dekat dengan Srekat Islam. Kartosuwiryo bergabung ke berbagai kelompok nasionalis islam, dan ahirnya dikeluarkan dari sekolah kedokteran di Surabaya. Ia mendrikan pesanternnya sendiri di Garut, Jawa Barat.  Selama masa jepang berkuasa di indonesia, Kartusuwiryo mendapat pelatihan militer dalam milisi Hizbullah. Ketika dalam tahun 1947  Kartosuwiryo terpilih sebagai komisaris Masyumi Jawa Baratmerangkap sebagai sekretaris I Masyumi, jalan kearah realisasi cita-citanya semakin terbuka. Ia pernah pula dicalonkan sebagai Menteri Muda Pertahanan, akan tetapi karena sudah punya tujuan tersendiri, jabatan itu tidak pernah di pangkunya.    
Pada tanggal 14 agustus 1947, setelah Belanda melancarkan aksi (aggresi militer I), Kartosuwiryo menyatakan perang melawan pihak belanda. Kartosuwirto membagi daerahnya menjadi beberapa wilayah yang terdiri dari Daerah I (daerah ibu kota negara), Daerah II, dan Daerah III. Daerah II di kategorikan sebagai daerah yang penduduknya sebagian besar beragama islamm, sedangkan daerah yang penduduknya tidak beragama islam maka masuk kategori daerah III. Gerakan yang di pimpin Kartosuwiryo ini sering menimbulkan kekacauan di Jawa Barat dengan menarik sumbangan dari masyarakat secara paksa. Akan tetapi karena pada saat itu keadaan ekonomi masyarakat sedang susah maka Kartosuwiryo menjarah rumah-rumah penduduk. [3]
Perjanjian Renville yang diterima pemerintah pada tahun 1948, ditolak oleh Kartosuwiryo. Begitu pula ia menolak politik hijrah sebagai salah satu ketentuan dari perjanjian Renville. Isi perjanjian Renville dianggap merugikan perjuangan dan kaena itu ia tidak mengizinkan pasukan Hizbullah dan Pasukan Sabilililah yang ada di bawah pengaruhnya meninggalkan Jawa Barat. Setelah divisi siliwangi pindah, Kartosuwiryo lebih bebas menjalankan misinya. Dalam konfrensi Cisanyong yang diadakan pada bulan Februari pada tahun 1948, hadir para pemimpin para pemimpin organisasi islam, Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Dari hasil rapat tersebut di putuskan untuk merubah ideologo islam dari bentuk kepartaian menjadi kenegaraan, membekukan Masyumi Jawa Barat dan mengangkat Kartosuwiryo menjadi imam seluruh umat Islam di Jawa Barat. Dalam bulan itu juga di bentuk Tentara Islam Indonesia (TII).  Sikap bermusuhan dengan Republik Indonesia jelas terlihat dalam maklumat militer Darul Islam no.1 yaitu tentang tentara liar gerombolan gabungan yang ada di Jawa Barat sebelah barat. Mereka menganggap semua daerah Jawa Barat sudah jatuh ketangan mereka.
Pada tanggal 19 desember ditandai dengan jatuhnya ibu kota Republik Indonesia yaitu Yogyakarta dan tertawannya pemimpin negara pada agresi militer Belanda II, Kartosuwiryo menilai bahwa kekuasaan Republik Indonesia sudah berahir. Setelah pasukan DivisiSiliwangi yang menguasai Jawa Barat di tarik ke yogyakarta, maka Kartosuwiryo menganggap daerah Jawa Barat sebagai daerag de facto NII. Setiap pasukan yang memasuki Jawa Barat di wajibkan untuk mengakui DI/TII atau akan di hancurkan. Pertempuran pertama antara DI/TII dengan TNI terjadi pada tahun 25 januari 1949, kejadian bermula ketika pasukan Divisi Siliwangi di bawah pimpinan Mayor Utarja memasuki daerah Priangan Timur. Pada pertempuran tersebut pimpinan Divisi Siliwangi di bunuh oleh anggota DI/TII. Nasib yang sama juga di alami oleh Mayor Tobing yang melakukan perlawanan di daerah Singaparna.
Pemerintah Republik Indonesia melakukan uapaya penyelesaian pemberontakan Kartosuwiryo di Jawa Barat ini dengan jalan damai. Lalu di bentuk sebuah panitia yang beranggotakan Zainul Arifin (kementerian Agama), Makmun sumadipraja (Kementerian Dalam Negeri), dan kolonel Sadikin (Kementerian Pertahanan) di berikan tugas untuk mengadakan kontak dengan pimpinan DI/TII. Namun usaha ini pun gagal. Upaya lain yang dilakukan pemerintah RI melalui Moh.Natsir (pemimpin Masyumi) adalah dengan mengirimkan sepucuk surat, namun juga tidak berhasil. Begitu pula dengan usaha Wali Alfatah pada masa kabinet Natsir. Kartosuwiryo hanya mau berunding apabila pemerintah RI bersedia untuk mengakui eksistensi DI/TII Jawa Barat. [4]
Setelah segala upaya damai yang di lakukan RI gagal, maka TNI melancarkan operasi militer untuk menumpas DI/TII, yakni dengan operasi merdeka. Tetapi operasi ini masih bersifat insidentil,lokal dan rutin tanpa rencana yang tegas dan sistematis. Serangan DI/TII yang bersifat gerilwayan belum di hadapi dengan taktik antigerilwayan. Di samping itu, kekuatan TNI pada saat itu sedang terpecah karena sebagian pasukan di pulau Jawa terpaksa di kirim ke luar Jawa untuk mengahadapi DI/TII di Sulawesi dan Aceh. Barulah pada tahun 1957 tejadi titik balik setelah TNI menyusun rencana opeerasi yang di kenal sebagai Rencana pokok 21. Intinya adalah menahan DI/TII di daerah-daerah tertentu untuk selanjutnya di hancurkan. Operasi penghancuran di mulai dari daerah banten dan selanjutnya bergerak ke arah timur. Dalam melaksanakan operasi ini masyarakat di ikutsertakan untuk mencegah anggota DI/TII Masuk ke desa-desa. Taktik ini kemudian berkembang menjadi operasi Pagar Betis yang berhasil mengatasi pemberontakan itu.
Untuk menumpas habis DI/TII di Jawa Barat. Dilakukan Operasi Bharatayudha dengan sasaran menuju basis pertahanan pemberontakan. Dengan melakukan Operasi Pagar Betis yang menggerakan tenaga masyarakat yang berjumlah ratusan ribu untuk mengepung gunung tempat persembunyiann DI/TII,  maka dengan begitu ruang gerak pemberontak semakin sempit. Meski demikian, operasi ini memakan waktu yang cukup lama. Baru pada tanggal 4 juni 1962, pimpinan DI/TII Jawa Barat berhasil di tangkap di Gunung Geber di daerah majalaya oleh pasukan Kompi C Bataliyon 328kujang II KODAM VI  Siliwangi, di bawah pimpinan Letda Suhenda. Penumpasan ini terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin. Munculnya gerakan DI/TII ini telah menimbulakan penderitaan bagi masyarakat Jawa Barat. Tidak sedikit penderitaan yang di tanggung rakyat karena gerombolan DI/TII. Mereka sering kali melukan teror terhadap masyarakat. Untuk kebutuhan hidup, pemberontak merampok rakyat terutama masyarakatb yang tinggal di pelosok-pelosok yang terpencil di lereng-lereng gunung, karena pemberontak DI/TII melancarkan Gerilwayan di gunung-gunung di Jawa Barat. [5]
Notes
1.      Nugroho Notosusanto.1985. Ikthisar Sejarah R.I (1945-Sekarang). Jakarta: Departemen Petahanan-Keamanan. Hal: 67
2.      Nino Oktorino dkk.2009. Sejarah dan Budaya:Sejarah Nasional Indonesia 8. Jakarta: PT Lentera Abadi. Hal.236.
3.      Djoened Poesponegoro, Marwati, dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI: Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 36.
5.      Djoened Poesponegoro, Marwati, dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI: Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 362.
Daftar Pustaka
-Nugroho Notosusanto.1985. Ikthisar Sejarah R.I (1945-Sekarang). Jakarta: Departemen Petahanan-Keamanan.
-Djoened Poesponegoro, Marwati, dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI: Jakarta: Balai Pustaka
-Nino Oktorino dkk.2009. Sejarah dan Budaya:Sejarah Nasional Indonesia 8. Jakarta: PT Lentera Abadi.

No comments:

Post a Comment