Sejarah Pendidikan Wanita di Indonesia pada Abad XIX

IRKFA ZUHAYRIAH TANJUNG 

 

            Salah satu isu penting yang berkaitan dengan perubahan sosial yang terjadi pada awal abad XX di Indonesia adalah pendidikan  kaum wanita .Sebagaimana telah disebutkann ,salah satu pemicu terjadinya perubahan sosial adalah pendidikan Barat.Bukan hanya kaum pria yang menikmati pendidikan dan kemudian menjadi pendidikan kaum wanita pun ikut ambil peran dalam hal ini .Perluasan pendidikan Barat secara Horizontal maupun vertikal dapat disebut sebagai pedang bermata dua .Maksud hati pemerintahan kolonial memberikan pendidikan untuk mencari tenaga terdidik yang dapat digaji rendah , namun disisi sebaliknya malah menghasilkan elite intelektual.Gagasan kemajuan dibicarakan dimana-mana dan semanagat masyarakat pun berubah.

            Gagasan tentang kemajuan itulah yang menjadi pemikiran pokok Raden Ajeng (R.A)Kartini (1879-1904), seperti tercermin dalam surat-surat pribadinya,yang diterbitkan pada 1912 atas usaha J.H Acendaron dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang ).Ternyata pengungkapan pikiran-pikiran Kartini itu menjadi pemicu timbulnya gelombang kesadaran akan hak –hak kaum wanita yang selama ini dipendam dalam kungkungan adat istiadat masyarakat pribumi yang androgynous.

            R.A.Kartini lahir di kemwedaan Mayong, Kabupaten Jepara, pada 21 April 1879 .Ketika itu ayahnya , R.M.Sosroningrat,masih menjabat sebagai wedana.Ibunya bernama R.A.Ngasirah ,putri dari seorang ulama yang manysur dizamannya, yakni Kiai Modirono dari desa Telukawur.Kartini adalah anak keempat dari delapan bersaudara.

            Pada 1881,Sosroningrat diangkat menjadi bupati Jepara.Maka pindahlah keluarga Sosroningrat itu dari Mayong kekota Jepara.Dikota itu,Kartini dan saudara-saudaranya tinggal di pendoo,diasuh dan dibesarkan menurut adat priyayi Jawa yang feodalistik.Sekalipun Sosroningrat termasuk orang yang berpikiran maju,tetapi ia sangat taat memegang hal adat .Anak-anak laki-laki diberi pendidikan formal,disekolahkan sampai tingkat anak itu mampu , tetapi anak perempuan harus tinggal dirumah setelah menyelesaikan sekolah dasar , tidak boleh melanjutkan pendidikan walaupun keiinginan itu sangat kuat.

            Pada usia 7 tahun Kartini dimasukkan ke sekolah dasar Belanda Europesche Lagere School (ELS) dikotanya,Jepara.Kartini yang berjiwa bebes itu merasa sangat pas disekolah orang Eropa itu .Disana ia bertemu dan berkawan dengan anak-anak Belanda tulen dan anak-anak indo yang berlatar belakang budaya barat.Guru-gurunya menyukai Kartini karena anak itu lincah,cerdas, dan berpikiran bebas.

Bagi Kartini ,dunia  sekolah yang bebas benar-benar merupakan kebaikan dari dunia rumahnya yang serba membelenggu.Jiwa yang bebas ditempa oleh pendidikan Eropa yang bebas pula membentuk cita-cita Kartini yang sangat kuat untuk melanjutkan pendidikan ke Eropa setamat ELS .Tetapi sang ayah tidak mengizinkannya.Jangankan ke Belanda ,untuk melanjutkan belajar ke Semarang pun sang ayah tidak mengizinkannya.

            Tamat dari ELS,Kartini memasuki kehidupan pingitan.Selama masa pingitan tersebut ,Kartini tidak diizinkan keluar dari lingkungan pendopo.Ia digembleng dengan adat tata krama priayi tinggi Jawa sehingga ia dapat menjadi putri bangsawan.Putri dari lingkungan priayi tinggi haruslah memiliki penampilan yang halus, berbicara lembut dengan bahasa tinggi , tidak tertawa kecuali senyum, harus pandai mlaku ndodok, menyembah, serta hormat kepada yang lebih tua dan yang berderajat lebih tinggi.

Semua hal tersebut bagi Kartini merupakan aturan yang sangat menyiksa karena bertentangan dengan jiwa Kartini yang bebas.Dalam keadaan terpingit itu, satu-satunya teman yang setia adalah buku.Untungnya, untuk yang satu ini ayahnya sangat memerhatikannya dengan cara memberikan apa saja yang ia minta.Satu dari setumpuk bukunya adalah karya Pandita Ramabai, tokoh pergerakan perempuan India.Buku itu membuka pikiran Kartini bahwa kaum wanita mempunyai hak-hak yang sama dengan laki-laki dalam segala kehidupan.

Selama dalam pingitan ,Kartini menjalin persahabatan melalui pena dengan seorang aktivitis pergerakan perempuan di Belanda bernama Stella Zeehandelaar.Surat –surat Kartini dengan sahabat penanya itu menyinggung bermacam-macam masalah,dari lingkungan adai priayi yang membelenggu sampai politik diskriminasi yang diberlakukan oleh penjajah Belanda atas bangsa pribumi dan jawa. Pemikiran dalam surat-surat itu begitu cerdas, kritis, cerdas, mendasar, dan mendalam.Surat-surat Kartini menunjukkan bahwa diusia yang masih sangat muda ia mampu memahami masalah-masalah politik kemasyarakatan dan kamanusian yang melingkungi hidupnya.

Surat pertama ditulis pada 25 Mei 1899, dan surat terakhir pada tahun 7 September 1904.Ketika baru berusia 16 tahun, Kartini telah menulis sebuah artikel tentang perkawinan pada suku bangsa Koja, dan dimuat dalam majalah Bijdragen terbitan 1989,dan diterbitkan KITLV (Koninkijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde/Lembaga kerajaan untuk pengembangan ilmu-ilmu bahasa,geografi dan antropologi) di negeri Belanda, majalah yang hingga sekarang masih terbit . Karya pertamanya ini  merupakan hasil dari lomba penulisan yang dimintakan kepada bupati Jepara.

Surat-surat Kartini banyak sekali jumlahnya . Selain surat-surat kepada sahabat penanya, Stella ,yang belum perbah bertemu muka dengannya, juga ada surat-surat kepada Ny.Ovink Soer, istri dari asisten residen Jepara, yang sering dipanggilnya "ibu tersayang" karena sudah dikenalnya secara dekat sejak kecil. Banyak juga surat-suratnya kapada Ny. Abendanon, dan suaminya Tn.J.H.Abendanon, mantan direktur pendidikan Hindia Belanda pada tahun 1911, dengan judul Door Duisternis tot Licht. Buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Armijn Pane, diterbitkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.Judul itu sebernya diambil dari satu puisi Jawa yang pernah ditulis Kartini dalam salah satu suratnya. Dalam bahasa Indonesia , puisi itu kira-kira berbunyi sebagai berikut:

"Habis malam dalanglah terang, habis topan datanglah reda, habis perang datanglah menang, habis duka datanglah suka ."

Setelah  empat tahun dalam masa pingitan , dua adik Kartini , yaitu Rukmini(adik kandung) dan Kardinah (adik lain Ibu ) menyusul memasuki masa pingitan. Kartini merasa terhibur dengan hadirnya dua adaik yang dicintainya. Apalagi mereka ditempatkan dikamar yang sama . Kepada kedua adiknya Kertini meminta agar mereka membuang tata krama kuno yang mengharuskan menyembah .

Sekarang Kartini punya teman yang dapat diajak berbincang dan berdiskusi memecahkan persoalan kaum perempuan yang tidak memperoleh hak sama dengan kaum pria dalam banayak segi kehidupan . Mereka bertiga menamakan diri het klaverblad , daun semanggi atau biasa juga diartikan tiga serangkai.Mereka menyususun cita-cita membebaskan kaum perempuan dan mewujudkannya dengan mendirikan sebuah sekolah untuk anak perempuan dipendopo Kabupaten Jepara.

Setelah selesai menjalani kehidupan dalam pingitan pada 1898, Kartini menjadi memohon kepada ayahnya agar diizinkan meneruskan sekolah ke negeri Belanda agar kelak setamat dari sekolah dapat menjadi guru dan mengajar kaumnya , membebaskan kaum perempuan dari kebodohan . Ia pun mangajukan permohonan beasiswa kepada direktur Pendidikan , kerajinan Agama, Tuan Abendanon di Batavia .

Permohonan itu dikabulkan , dan ayah serta ibunya juga memberi "Lampu Hijau" , tetapi pada pembicaraan Kartini dengan Tuan Abendanon di pantai Bandengan, Kartini tiba-tiba menerima begitu saja ususlan Abendanon ia membatalkan rencananya melanjutkan sekolah ke Belanda.Radeng Ajeng Kartini mengusulkan agar beasiswanya diberikan kepada Agus Salim, Pemuda cerdas dari Sumatera, tetapi Agus Salim menolak dan pemerintah memang tidak memberikannya beasiswa untuk sekolah di Batavia saja. Sahabat penanya , Stella , sangat kecewa dan merasa heran Kartini menerima begitu saja keputusan itu.

Sambil menunggu jawaban atas surat permohonanya,, Kartini dan adik-adiknya membuka sekolah dilingkungan kabupaten. Sekolah yang didirikan pada Juni 1903 itu hanya menerima anak-anak gadis dari lingkungan priayi. Kelas kecil bagi kepentingan gadis-gadis itu diselangarakan empat kali seminggu . Murid-muridnya yang pertama berjumlah tujuh orang dan mendapat pelajaran mambaca-menulis, kerajinan tangan, memasak, dan menjahit. Sampai batas tertentu , pengajaran diberikan Cuma-Cuma.

Tetapi baru satu bulan sekolah  berjalan , Kartini dilamar oleh Raden Adipati Djojoadiningrat, bupati Rembang. Pinangan itu diterima satu hari sebelum dikabulkan permohonan beasiswanya untuk melanjutkan sekolah ke Batavia. Pernikahan Kartini dengan Djojodiningrat dilangsungkan di Jepara dengan upacara sederhana pada 8 November 1903.

Pada 11 November 1904 , Kartini diboyong ke Rembang . Ditempat baru itu Kartini cepat menyesuaikan diri karena anak-anak Djojodiningrat dan sang raden ayu telah mengenal Kartini dan menyayanginya.Dalan dua bulan suami Kartini telah menyediakan  sarana untuk mendirikan sekolah gadis. Sekolah itu terus berkembang, dan pada Juni 1904 muridnya telah mencapai jumlah 12 orang.

Pada 13 September 1904, Kartini melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Soesalit. Setelah melahirkan , kesehatan Kartini terus menurus . Ia mengudap penyakit ginjal.Pada 17 September 1904 akhirnya Raden Ajeng Kartini mengembus napas terakhir.

Walaupun jasad Kartini telah tiada , tetapi jiwa dan semangat perjuangannya tetap hidup dan diteruskan oleh generasi berikutnya. Sekolah yang dirintis Kartini terus berkembang, dan jejaknya ditiru oleh banyak orang. Setelah itu banyak sekolah Kartini didirikan. Adik Kartini , R.A. Kardinah yang kemudian menjadi istri bupati Tegal, mendirikan sekolah Kapandaian Puteri. Sejak 1912 berturut-turut berdiri Kartini School di Semarang , Bogor, Batavia, Madiun, Rembang , dan Malang.

Sekolah-sekolah itu didirikan oleh yayasan Kartini yangg disebut sebagai Kartini Schoolvereniging didaerah –daerah itu , dan juga mendapat bantuan dari Kartini Fonds atas usaha Canrad Theodore van Deventer , seorang peenganjur Politik Etis yang berpusat di Den Haag , Belanda.

Bagaimana kedudukan gadis-gadis pribumi pada masa Kartini  hidup, terungkap dalam surat Kartini tertanggal 25 Mei 1899 kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar. Diungkapkannya bahwa gadis-gadis masih terikat pada adat istiadat  lama yang sedikit sekali memperoleh kebahagian  dari kemajuan dari pengajaran. Mereka haru sdipingit , tidak bisa keluar rumah sejak usia 12 tahun , apalagi juga untuk bersekolahh karena dianggap melanggar adat.Mereka baru boleh keluar rumah lagi setelah bersuami.Para gadis seringkali dinikahkan dengan seorang laki-laki tak dikenal yang dipilih oleh orangtua mereka, Bahkan tanpa sepertujuan mereka.

Keadaan gadis-gadis seperti dialami R.A.Kartini di Jawa, juga terjadi ditatar Pasundan.Seorang guru wanita Belanda ,yang datang ke Indonesia pada 1913 , menulis tentang wanita Sunda.Disebutkannya bahwa mereka hidup dalam tiga periode, yakni :masa kanak-kanak yang penuh gembira , masa kehidupan patuh sebagai istri dan ibu, dan masa penuh pengaruh sebagai nenek. Mengenai gadis-gadis menak di Priangan , ia menulis bahwa ketika ia datang ketanah Priangan , hampir tidak ada atau sedikit sakali gadis yang pergi kesekolah.Gadis-gadis hilang kebebasannya pada usia menjelang kawin , yaitu usia 10 atau 12 tahun.

Kehidupan gadis semacam itu sebenarnya hanya terdapat dikalangan bangsawa.Keadaan di lingkungan bawah , seperti buruh dan petani, berbeda walaupun tidak berarti pula bebas.Keadaan umum yang terjadi dilingkungan elite maupun kelas bawah adalah hasil keterbelakangan pendidikan. Masih beruntung , dikalangan ningrat anak perempuan boleh bersekolah di ELS. Namun yang terjadi dikalangan rakyat biasa adalah sama sekalitidak ada pendidikan bagi anak perempuan.Oleh karena itulah Kartini sangat mandambakan pengajaran bagi gadis-gadis , sebagaimana sering ia ungkapkan baik secara langsung maupun melalui surat kepada Mr.J.H.Abendanon,Direktur Depertemen pendidikan, Agama, dan kerajinan serta nyonya Abendanon .Dalam suratnya kepada nyonya F.K.Anton di Jena tertanggal 4 Oktober 1904, misalnya ia menulis :

"Apabila kami dengan sangat meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki, dalam perjuangan hidup ini , melainkan karena kami hendak perempuan itu lebih cakapmelakukan kewajibannya, yaitu kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri kedalam tangannya,menjadi ibu pendidik manusia yang pertama. Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibulah terletak kewajiban pendidikan anak-anakyang berat itu,yaitu bagian pendidikan yang membentuk budi pekerti nya untuk keperluan keluarga yang lebih besar, yang dinamanakan masyarakat, dimana ia kelak akan menjadi anggotanya. Itulah sebabnya kami minta pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak gadis."

Sezaman dengan R.A. Kartini , ditatar Pasundan pun muncul tokoh Raden Dewi Sartika. Wanita berhati tenguh ini lahir pada 4 Desember 1884 dikalangan menak Sunda sebagai putri kedua dari lima bersaudara .Ayahnya adalah Raden Rangga Somanagara Putih Bandung, dan ibundanya adalah Raden Ayu Rajapermas ,putri bupati Bandung R.A.A Martanegara (yang keturunan menak Sumenang) dan para pejabat Belanda dikota Bnadung pada 1893. Akibatnya ,Raden dewi (yang biasa dipanggil dengan nama kecilnya UWI ) harus berhenti sekolah dan menanggung penderitaan karena teman dan kerabatnya menjahui keluarganya, mereka takut tertuduh terlibat dalam peristiwa itu. Untunglah Raden Dewi dibawah pindah oleh uwaknya, yaitu patih Cicalengka. Disana ia mendapat pendidikan keterampilan wanita bersama putra-putri uwaknya ,antara lain dari istri asisten residen Cicalengka. Di waktu senggangnya , Raden Dewi bermain " sekolah- sekolahan"dengan anak-anak pegawai kepatihan dan ia sendiri menjadi gurunya. Kebiasaan bergaul dengan anak-anak somah(cacah) ini rupanya ikut membina dasar pandangan hidupnya kemudian .Ia mempunyai cita-cita untuk memajukan anak-anak gadis,baik anak menak maupun somah.

Setelah menginjak remaja , Dewi Sartika kembali kerumah bundanya di Bandung .Cita-cita mendirikan sekolah bagi ank gadis semakin ingin diwujudkannya dikota ini.Sebagai anak mantan Patih , ia masih menyimpan keberanian untuk menghubungikalangan menak dalam pemerintahan kabupaten yang bisa membantu melaksanakan cita-citanya itu . Setelah berulang kali meminta dukungann bupati Bandung  R.A.A Martanegara, ia membuka sekolah istri pada 16 Januari 1904 dan diberii tempat di Paseban Kabupaten Bandung.Murid yang berhasil dikumpulkannya berjumlah 20 orang dengan 3 orang guru , yaitu Dewi Sartika sendiri , Ibu Purma , dan Ibu Uwit . Disekolah ini anak-anak gadis mendapat kan pelajaran umum sekaligus mendapat pelajaran keterampilan wanita , seperti memasak , membatik, menjahit, merenda, menyulam ,dan lain-lain .Yang penting disekolah ini diajarkan mata pelajaran agama islam , yang di sekolah-sekolah bergaya Barat dilarang diajarkan .

Pada 1910 , nama sekolah diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri. Jumlah murid semakin banayak , bukan saja gadis-gadis yang berasal dari Bandung dan sekitarnya, tetapi ada pula yang datang dari Sumatera. Cabang-cabang sekolah kemudian dibuka berturut-turut da Tasikmalaya (1913), Cicurung (1918), Kuningan (1922), dan Sukabumi (1926).

Kemajuan sekolah ini mengundang perhatian masyarakat , termasuk pemerintah . Beberapa orang pejabat pemerintahan merasa perlu untuk datang melihat sendiri keadaan dan kemajuan sekolah itu, termasuk istri gubernur jenderal Hindia Belanda, yakni Ny.Limbung Sitirum, dan kemudian Ny.Tjarda van Starkenborg Stachouwer. Hal ini membuka jalan bagi sekolah itu untuk mendapat bantuan dari pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda kemudian memberikan sumbangan sebuah sekolah baru yang mulai dipakai September 1929. Karena sumbangsih ini Raden Dewi Sartika dianugerahi tanda jasa Bintang Perak , kemudian pada 1940 mendapat tanda jasa kerajaan berupa Ridder in de orde van Oranje Nassau dan terakhir mendapat penghargaan bintang mas (gauden star) .Mengenai kehidupan keluarga , patut dicatat bahwa Raden Dewi Sartika baru menikah pada usia 22 tahun dengan Raden Kanduruan Agah Suriawita, Seorang guru disekolah Karang Pamulung , Bandung . Raden Dewi Sartika wafat pada 11 September 1947 di Cineam, Tasikmalaya, setelah menderita sakit diabetes.

Kurang lebih tiga tahun setelah Raden Dewi Sartika mendirikan Sakolah Istri di Bandung, Raden Ayu Lasminingrat, istri Bupati Garut R.A.A.Wiratanudatar VIII, membuka Sakolah Kautamaan Istri di Garut pada 1907.Ia mengambil tempat di ruang gamelan sebagai ruang kelas. Usaha untuk membuka sekolah ini tidak banyak menemui kesulitan seperti Raden Dewi Sartika mendirika Sakkolah Istri karena sebagai istri seorang bupati, Raden Ayu Lasminigrat tidak merasa kesulitan untuk mendapat bantuan dari pejabat-pejabat pemerintah yang memiliki kedudukan tinggi. Meskpun demikian , dalam hal mendapat murid , ternyata tidak lah mudah .Hal ini terutama disebabkan pleh pengaruh adat lamh yang beranggapan bahwa kaum wanita tidak perlu memperoleh pendidikan disekolah. Oleh karena itu, Raden Ayu Lasminigrat pertama-tama mengerahkan anak-anak gadis sanak familinya dan anak-anak gadis para pengawai negeri untuk menjadi murid sekolah yang didirikannya. Demikian juga dengan tenaga pengajarnya yang merupakan keluarga Raden Ayu Lasminingrat sendiri yaitu Surianingrum (kemenakan) ,Raden Rajakusuma (cucu), dan Murtiah , seorang guru yang didatangkan dari Bandung.

Untuk memperkuat status sekolah tersebut , Raden Ayu Lasmingrat ditemani Dokter Meulder untuk menghadap gubernur jenderal di Istana Bogor untuk memohon restu pendirian sekolah gadis itu. Usaha Raden Ayu berhasil dan sekolah tersebut disahkan sebagai suatu organisasi yang disebut Vereeneging Kautamaan Istri Schlen dengan akte nomor 12 tanggal 12 Februari 1913. Demikianlah Sakolah Kautamanan Istri yang dirintis Lasminingrat berkembang bersana-sana dengan sekolah yang dipimpin Raden Dewi Sartika, Bahkan ada kalanya Sakolah Kautamaan Istri disuatu tempat merupakan perpaduan antara sekolah Ayu Lasminigrat dengan sekolah Dewi Sartika.

Salah seorang keponakan Raden Ayu Lasminingrat , yaitu R.A.Poernamaningrat, ikut melanjutkan Keloporan dibidang pendidikan wanita. Putri Wedana  Cibeber R.Memed Prawiradilaga yang dilahirkan di Garut pada 21 Februari 1900 ini, mewarisi bakat mendidik dan menulis Dangding (puisi tradisi sunda) . Bakat ini mungkin berasal dari kakeknya penghulu kepala Limbangan yang terkemuka, Raden Haji Muhammad Musa.Pada 1934, ia mengelola Sakola Kautamaan Istri di Garut, kemudian pada tahun itu pula ia mendirikan Sakola Kautamaan Istri Di Cikajang, Garut Selatan dan Bayongbong.

Pada 1906 , di Cianjur dibuka Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Bupati R.Muharram Wiranatakusuma sebelum ia dipindahkan ke Bandung.Sekolah ini bertempatdi kampung Joglo, tidak jauh dari gedung kantor Kabupaten  Cianjur dan dipimpin oleh Sti jemab.Sakolah Kautamaan Istri di Cianjur ini merupakan perpaduan antara Sakola Istri yang didirikan Raden Dewi Sartika dengan Sakola kautamaan Istri yang didirikan Raden Ayu Lasminingrat .Pada permulaan pembukaan sekolahh tersebut, banyak sekali cemoohan dan ejekan , terutama dari orang-orang yang fanatik agama.Akan tetapi , Siti Jenab ,sebagai orang guru dan pimpinan sekolah tersebut , tetap tenguh dan berusaha terus menerobos segala rintangan.

Sakola Kautamaan Istri yang memiliki lama pendidikan 3 tahun  di Cianjur itu merupakan Miesje Vervolg School. Oleh karena itu , murid-murid yang diterima disekolah tersebut adalah anak-anak gadis yang telah tamat sekolah dasar 3 tahun. Dengan demikian, murid-murid yang diterima disekolah itu langsung masuk kelas IV. Pelajaran yang diberikan pada dasarnya sama dengan pelajaran disekolah Raden Dewi Sartika , yaitu berhitung ,menulis, bahasa sunda , bahasa melayu, bahasa Belanda, budi pekerti, agama, dan pengetahuan /keterampilan wanita, seperti membatik, merenda, dan lain-lain. Pada awal pengajarannya, sekolah ini telah memiliki murid sebanyak 27 orang , tetapi kemudian jumlah murid terus menigkat .Banyak murid lulusan sekolah itu yang meneruskan sekolahnya ke Van Deventer School di Bandung.Pada zaman Jepang , nama sekolah ini duganti menjadi Sekolah Rakyat Gadis, namun setelah kemerdekaan namanya berubah menjadi Sekolah Rakyat, kemudian diganti lagi menjadi Sekolah Dasar Siti Jenab.

Tokoh pelopor pendidikan wanita yang juga patut icatat adalah seorang wanita berdarah Minang yang dikenal sebagai Rohana Kudus. Wanita ini dilahirkan dikota Gedang, Bukittinggi ,pada 20 Desember 1884, lebih muda 16 hari dari Raden Dewi Sartika , dan lebih muda empat tahun dari Raden Ajeng Kartini . Ayah Rohana , Muhammad Rasyad bergelar Maraja Sutan, adalah sorang jaksa yang ditugaskan di Medan. Ketika manusia 6 tahun dan ayahnya masih menjadi juru tulis di Alahan Panjang, Rohana sudah belajar menulis, membaca, dan mengaji.Gurunya adalah istri jaksa Alahan Panjang, yang kemudian menjadi ibu angkatnya. Disamping itu Rohana kecil belajar keterampilan jahit-menjahit , termasuk membuat renda terawang Bukittinggi yang termansyur itu dari buku. Pada 1892 , ayahnya dimutasikan ke Simpang Tonang Talu sebagai mantri gudang kopi. Mutasi ini terjadi karena ayahnya membangkang perintah atasan demi membela kepentingan rakyat sehingga dianggap tidakk loyal kepada pemerintah. Rohana pun berpisah dengan orangtua amgkatnya.

Didesa Talu ini, Rohana berusaha berlangganan surat kabar khusus untuk anak-anak terbitan Medan. Hobi membacanya dipuaskan dengan membaca pula surat kabar langganan ayahnya. Satu hal yang sangat menarik , Rohana kecil suka sekali membacakan isimsurat kabar kepada orang-orang didesa tersebut yang kebanyakan masih buta huruf. Orang-orang merasa tertarik dengan kelincahannya itu. Bakat kepemimpinannya mulai tampak ketika ia mengajak anak-anak tetangganya , bail laki-laki maupun perempuan, untuk belajar membaca dan menulis. Ia sendiri yang menjadi guru bagi mereka. Semua pengetahuannya ditumpahkan kepada murid-muridnya itu, menulis dan membaca huruf Lati , mengaji,memasak, juga menjahit. Hal tersebut dilakukannya selama empat tahun tinggal didesa itu.

Pada 1897 , ibunya meninggal dunia .Sementara itu , ayahnya yang sudah menikah lagi berpindah-pindah tugas. Mula-mula ke Rao ,kemudian kepadang panjang , lalu ke padang dan terakhir menjadi hoodf-djaksa di Medan. Sementara itu, Rohana tetap tinggal di Talu .Rumahnya dijadikan sekolah untuk anak-anak tanpa pungut biaya.Neneknya ikut pula menjadi guru keterampilan . Muridnya makin lama makin bertambah.

Oleh karena kesibukannya mengurus sekolah, Rohana baru menikah ketika usianya mencapai 24 tahun .Suaminya adalah Abdul Kudus bergelar Pamuuncak Sultan,seorang anggota partai pergerakan Insulinde, yang masih terhitung kerabat ayahnya , tentu untuk saat itu boleh dikatakan ia terlambat menikah , seperti halnya Kartini dan Dewi Sartika . Setelah menikah ia pindah ke Maninjau karena Rohana tidak tahan menerima fitnah dari orang-orang yang tidak menyukai usahanya.Akan tetapi ia selalu memikirkan murid-murid dari sekolah yang ditinggalkannya. Sementara itu bertubi-tubi surat datang ke Maninjau yang meminta agar Rohana kembali.Akhirnya selama 3 tahun , ia kembali kekota Gedang denagn membawa rencana baru akan mendirikan sekolah secara formal dengan dukungan suatu organisasi yang teratur.

Bersama teman-teman wanita dan kerabatnya, Rohana mendirikan perkumpulan Kerajinan Amai Setia (KAS) . Perkumpulan ini bertujuan memberikan pendidikan bagi anak-anak wanita dalam bidang kerajinan, sulam menyulam ,menjahit , membaca, dan menulis huruf Arab dan Latin .Pendidikan lainnya adalah soal akhlak dan ibadah serta urusan-urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak , memasak, menyetrika, dan lain-lain. Atas bantuan Ph.van Ronkel ,anggota Voklslectuur di Batavia , Rohana berhasil membangun sekolah yang diberi nama sama dengan perkumpulan yang didirikannya . Muridnya semakin lama semakin banyak. Kemudian fitnah datang lagi , Rohana ditunuh menggelapkan uang kas sehingga ia harus masuk pengadilan . Ternyata dirinya bersih. Rohana memutuskan untuk pindah ke kota.Disana ia mendirikan sekolah baru yang dinamainya Rohana School.

Rohana yang memiliki hobi membaca , juga senang menulis . Ia kerap menulis disurat kabar , bahkan pada 1912 ia memimpin surat kabar wanitanyang diberi nama Sumting Melayu. Profesinya ini ditekuninya hingga 1912. Sebagai wartawati pelopor, ia juga aktif sebagai wartawati Harian Radio DiPadang . Rohana hanya bertahan dua tahun dikota Gedang. Ia kemudian pindah ke Lubuk Pakam, kemudian ke Medan dan menjadi guru di Sekolah Dharma. Di Medan ,ia bersama-bersama Parada Harahap memimpin surat kabar wanita Perempuan Bergerak . Pada 1926 , rumahnya hancur dilanda gempa bumi sehingga Rohana harus tinggal digubuk yang sederhana. Rohana kudus , wartawati pertama inni, meninggal pada 1972 dalam usia 88 tahun.

DAFTAR PUSTAKA :

Prof. Dr. A. M . Djuliati Suroyo ,dkk .Indonesia Dalam Arus Sejarah. Jakarta : PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.

Adam, Asvi Warman .Pemahaman Sejarah Indonesia . Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.

Abdullah, Tufik .Islam dan Masyarakat :Pantulan Sejarah Indonesia .Jakarta : LP3ES, 1987.

Madjid, Nurcholish .Indonesia Kita .Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama ,2004 .

 

No comments:

Post a Comment